Sejarah Pakaian Pernikahan

Bagaimana alkisah dari pakaian pengantin itu yang sesungguhnya…!? Pada abad pertengahan, warna baju dan jenis bahannya digunakan sebagai penanda status sosial seseorang. Hanya kaum kerajaan dan bangsawan saja yang bisa menggunakan bahan sutera, satin, beludru dan renda, serta menggunakan warna-warna yang “grandeur” dan indah seperti emas, ungu dan biru. Karena pada masa itu, teknik penganyaman benang , teknik ekstraksi zat pewarna kain dan proses pewarnaan kain dilakukan dengan mengandalkan ketrampilan manual. Plus, bahan-bahan yang digunakan pun tergolong sulit diperoleh sehingga kain-kain indah tersebut tidak dapat diproduksi secara massal.


Pada masa itu, warna ungu kerajaan yang dikenal sebagai Tyrian Purple dihasilkan dengan mengekstrak lendir keong langka bergenus Murex sp. ? Bahkan, warna royal blue yang kala itu hanya dipakai oleh anggota kerajaan, dibuat oleh bangsa Phoenician di sebuah pulau terpencil bernama Iles Purpuraires ? Itu hanya beberapa contoh kenapa kain-kain indah tersebut jadi mahal, eksklusif dan langka. Baju-baju mewah tersebut menjadi penanda atas kelas sosial yang memakainya : Only the wealthiests who afford to buy it.

Pada masa itu, gadis-gadis bangsawan akan merayakan pernikahan mereka dengan memakai baju dan perhiasan berwarna “grandeur” tadi : emas, ungu, dan biru. Karena [secara finansial] mereka mampu membeli bahan-bahan mahal berwarna mewah dan membuat berbagai-macam model pakaian, para gadis bangsawan ini kemudian menjadi trendsetter.  Gadis-gadis dari kasta sosial yang lebih rendah hanya bisa berusaha meniru bentuk baju dan penampilan para bangsawan-trendsetter tersebut. Jarang sekali mereka bisa menggunakan baju pernikahan dengan warna “grandeur” tersebut karena mahal.
Putih tetap tidak menjadi warna pilihan utama untuk gaun pengantin sampai tahun 1840, dimana Ratu Victoria mengenakan gaun pengantin putih saat menikah dengan Pangeran Albert of Saxe-Coburg. Lagi-lagi, statusnya sebagai keluarga kerajaan  membuat Ratu Victoria menjadi trendsetter saat mengenakan gaun pengantin putih mewah berhiaskan penuh renda Honiton Lace.

Gaun pengantin putih ala Ratu Victoria sukses ditiru warga eropa kala itu, sebagaimana 141 tahun kemudian [1981] seluruh wanita barat tahun 80-an mati-matian meniru bentuk gaun pengantin putih mewah yang dikenakan Lady Diana Spencer saat menikah dengan pangeran Charles. Saat gaun pengantin ala Ratu Victoria booming, naiknya permintaan terhadap bahan-bahan gaun putih mewah tersebut membuat para pembuat bahan dan renda gaun pengantin kewalahan memproduksinya, karena di masa itu renda putih masih dibuat secara manual. Belum lagi gaun putih termasuk sulit dirawat karena kotoran yang menempel akan tampak jelas disitu. Akhirnya beberapa pengantin dari kelas sosial yang lebih rendah kembali mengenakan gaun pengantin dengan warna selain putih, kecuali warna hitam dan warna merah menyala.

Sejak era Victorian itulah tradisi mengenakan gaun pengantin warna putih ditiru para wanita dan terus dilestarikan. Kemudian tidak hanya warna putih plain saja yang dipilih untuk warna gaun pengantin, tetapi juga nuansa gradasi putih seperti creme, champagne, broken-white, off white and ivory.

Saat era Great Depression melanda, yang disusul oleh Perang Dunia II, kondisi ekonomi dunia mengubah pilihan jenis bahan yang digunakan untuk gaun pengantin : penggunaan renda, sutera dan beludru diminimalisir karena langka dan mahal. Para wanita membuat gaun pengantin mereka sesederhana mungkin, namun tetap warna putih menjadi pilihan utama, karena simbolnya kesucian.
Sampai sekarang, putih tetap lestari di kalangan para wanita sebagai  pilihan warna baju pengantin. Putih menjadi warna privilege para pengantin wanita untuk tampil-beda dan anggun di hari pernikahannya. Seolah-olah ada cap “FOR BRIDE-ONLY” yang menyertai pemilihan warna putih untuk baju pengantin.
Namun sekarang banyak juga pengantin yang memilih warna selain putih untuk baju pengantinnya. Sebab bukan hanya gaun pengantin modern ala barat saja yang memakai Putih sebagai “warna resmi”; di beberapa negara, baju pernikahan bernuansa adat seperti kebaya, baju kurung, kimono dan cheongsam turut mengadopsi warna putih, oleh karena makna kesucian yang dibawanya.

Sebuah pantun Inggris kuno yang menggambarkan “nasib” yang dibawa oleh warna baju pengantin :
“Married in white, you will have chosen all right.  Married in grey, you will go far away.  Married in black, you will wish yourself back.  Married in red, you’ll wish yourself dead.  Married in blue, you will always be true.  Married in pearl, you’ll live in a whirl.  Married in green, ashamed to be seen.  Married in yellow, ashamed of the fellow.  Married in brown, you’ll live out of town.  Married in pink, your spirits will sink.”



Sumber: yulissamoa.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar